Oleh: Uliyatul Muawanah, M.E.I (Kaprodi ES INAIFAS Kencong Jember)
Ahad (20/06), Himpunan Mahasiswa Prodi Ekonomi Syariah (HMPS) INAIFAS Kencong Jember, menyelenggarakan webinar. Acara ini bertema “Yuk Nabung Saham: Trading di Pasar Modal Syariah”. Narasumbernya masih muda tapi punya banyak pengalaman. Namanya Muhammad Faza Mahendra. Usianya masih 22 tahun, tapi memegang rekor MURI untuk kriteria “Menabung Saham Dari Penjualan Sampah oleh Mahasiswa Terbanyak”. Dia juga menjadi kampiun Forum Riset Ekonomi dan keuangan Syariah OJK 2019 kategori Anak Muda di Sektor Pasar Modal Syariah.
Sebagai Kaprodi ES, saya menganggap apabila saat ini keterlibatan anak muda, apalagi mahasiswa, masih belum maksimal di bidang ini. Padahal peluangnya besar. Hal ini pantas dimaklumi, sebab indeks literasi keuangan Syariah masih cenderung rendah. Angkanya masih berada di kisaran 16,3%. Hal ini diakui oleh Bapak Prijono selaku Direktur Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia (BI). Artinya, dari sekitar 100 orang hanya 6 orang saja yang paham mengenai sektor keuangan Syariah, salah satunya sektor pasar modal.
Di sisi lain, jumlah investor saham di Indonesia berdasarkan data pada Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) atau investor yang memiliki SID (Single Investor Identification) berjumlah 5.088.093 SID pada 2021, tumbuh 31,11 % dari tahun 2020 yang berjumlah 3.880.753 SID.
Tentu tingkat pertumbuhan ini pantas disambut dengan tepuk tangan, walaupun jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas muslim, hal tersebut masih cukup jauh dari standar karena pemulihan ekonomi perlu koordinasi dari berbagai sektor keuangan, terlebih pada saat pandemi Covid-19.
Peningkatan jumlah investor lokal juga akan berdampak pada ketahanan/ resiliensi sektor pasar modal. Dalam ekonomi pembangunan, konsep ini mirip dengan ungkapan “cintai produk dalam negeri”, sebuah harapan apabila para pelaku usaha menjadi majikan di tanah air sendiri, serta produk dalam negeri bisa merajai pasar Indonesia, bahkan bisa merambah dunia ekspor. Dengan kata lain Indonesia seharusnya mampu menjadi pemain dalam negeri sendiri. Kita pantas bergembira pada keuletan dunia usaha yang lebih variatif, apalagi semenjak pandemi. Para wirausahawan tidak lagi menjajakan produk secara luring, melainkan juga daring. Pola pemasaran juga lebuh kreatif. Pangsa pasar juga diperluas. Artinya, jika pola ini bisa dipertahankan lebih lama dan dinamis, maka harapan apabila pengusaha lokal berjaya di negeri sendiri bisa tercapai. Tingkat daya serap karyawan dalam usaha kreatif juga lebih meningkat.
Dalam webinar kemarin lusa, Muhammad Faza Mahendra sebagai narasumber juga menyoroti masih minimnya tingkat pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap saham, investor, emiten/ perusahaan. Konsep “nabung saham” serta jual beli saham (trading) juga masih sangat rendah, bahkan bagi mereka yang termasuk dalam kategori surplus dana. Padahal ini sebenarnya sangat mudah seperti halnya kita ingin melakukan transaksi jual beli di pasar tradisional maupun marketplace online seperti shopee, tokopedia, dsb.
Faza melanjutkan, hambatan awal terjadi pada tingkat pemahaman masyarakat. Apalagi ada sebagian kecil kaum muslimin yang mempercayai apabila bisnis saham ini bagian dari riba. Padahal ini belum tentu benar. Riba memang diharamkan, namun apakah bisnis saham bagian dari riba, para ulama masih khilaf di dalamnya. Faza mencontohkan sahabatnya semasa SMA yang tiba-tiba melarangnya menekuni bisnis ini dengan alasan riba. Padahal, sahabatnya ini belum mengetahui seluk beluk dunia saham. Dari sini, dia menilai apabila perlu upaya memahamkan masyarakat mengenai statusnya serta peluang beserta resikonya, agar lebih jelas dan terang.
Faza lantas melanjutkan, saat ini metode bisnis investasi yang terbuka bagi kalangan muda sangat bervariatif dan senantiasa berkembang. Salah satunya dengan metode circular ekonomi karena dinilai lebih luas kebermanfaatannya. Misalnya seperti yang telah dilakukan Galeri Investasi Syariah (GIS) UIN Sunan Ampel Surabaya. Komunitas ini mampu melihat problem sampah di perguruan tinggi kemudian mengubahnya menjadi sesuuatu yang bernilai (valuable). Dengan mendirikan bank sampah Syariah, bank sampah melayani para nasabah untuk memberikan sampahnya untuk selanjutnya diubah menjadi rekening efek. Pada tataran ini As-Salam sebagai bank sampah juga bertindak sebagai kantor cabang dari Bursa Efek Indonesia (BEI) seperti dalam perbankan pada umumnya. Komunitas ini bukan hanya telah memberikan bantuan pemikiran namun juga sekaligus solusi untuk permasalahan ekonomi serta lingkungan.
Dengan semakin berkembangnya teknologi, transaksi saham bisa dilakukan hanya dengan cara menggunakan smartphone. Suatu bentuk pemanfaatan tekologi untuk menncapai kesejahteraan hidup (ekonomi).
Harapan ke depan, Prodi Ekonomi Syariah INAIFAS dapat mampu meniru dalam hal mencari solusi apapun untuk mengatasi problematika yang di alami guna mencapai kesejahteraan diri sendiri, almamater, dan membantu pengembangan ekonomi Indonesia pada umumnya.Wallahu A’lam Bisshawab