Oleh : Uliyatul Mu’awwanah, M.E.I (Kaprodi Ekonomi Syariah Inaifas Jember)
Tahun 2008, saat awal menjadi mahasiswa, saya pikir Syariah Muamalah (sekarang ekonomi syariah) adalah program studi yang dapat menyelamatkan saya dari rumitnya angka dalam matriks, statistik maupun matematis. Eh, tapi ternyata justru ada spesies lain, biasa disebut akuntansi dengan kajian legendarisnya yang terus-terusan membahas laporan keuangan, neraca, aktiva, pasiva dan bla..bla..bla
Neraca selalu berhasil membuat para akuntan mumet dengan rumus wajibnya yakni aktiva lebih besar sama dengan ekuitas plus liability (asset ≥ modal + kewajiban). Bagi yang tidak familiar dengan istilah tersebut, jangan khawatir. Karena sejujurnya pada saat yang sama, meski saya dari kalangan ekonom, perjalanan intelektual sekte ini juga sukses membuat saya sakit kepala hingga saat ini, Alhamdulillah.
Sebenarnya, tulisan ini adalah sebuah warning sekaligus attention bagi saya pribadi secara khusus dan bagi semua pembaca yang sudi untuk menyisihkan sedikit waktunya untuk bersama-sama melihat bahwa rumus neraca di atas, based on pendekatan ilmu/ cara manusia memenuhi kebutuhan hidup (ekonomi) ialah satu-satunya jalan untuk mencapai kondisi finansial yang sehat bagi suatu perusahaan tertentu maupun kondisi kesehatan finansial individu.
Menurut rumus tersebut, kondisi keuangan kita dapat dikatakan sehat apabila minimum jumlah nominal aset yang kita miliki wajib sama kalkukasinya dengan akumulasi modal dan kewajiban. Jangan terlalu banyak utang maupun piutang. Jangan lupa juga aset yang dimaksud adalah aset likuid dan bukan dibiayai oleh hutang. Kemudian anda akan bertanya, sudah sehatkah kondisi kantong kita? Berapa ya jumlah utang saya? Berapa duit ya utang si a,b,c,d ke saya? Berapa duit ya pengeluaran dan pendapatan kita setiap bulan? Cicilan bulan depan aman gak ya? Dan seterusnya…
Bicara soal kondisi keuangan, ada istilah Financial Freedom atau merdeka finansial yakni sebuah ilustrasi status seseorang di mana ia telah bebas dari segala jenis hutang, memiliki passive income yang cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder maupun tersiernya bahkan ia tidak perlu ragu dan berfikir panjang lagi jika harus mengeluarkan duit untuk bersenang-senang. Bahasa populernya “Biarkan uang bekerja untuk anda”.
Tapi perlu saya tekankan, ini bukan jargon yang biasa dipakai ngiklan oleh entitas bisnis investasi tertentu berbasis robotic misalnya, atau bahkan promosi pinjol yang berserakan di social media hingga memicu pewajaran terhadap penggunaan utang konsumtif dengan bunga harian tinggi dan semacamnya. Anggap saja ini level atau kelas akhir.
Sebelum mencapai kelas ini, anda juga perlu untuk tahu kelas-kelas sebelumnya untuk memudahkan proses identifikasi. Tapi demi uang, percayalah saya lebih suka menyebutnya dengan PETA, he-he-he.
Kelas 1, Financial Dependent. Pada kelas ini, seorang individu pelaku ekonomi masih menggantungkan hidupnya pada donasi orang lain seperti orang tua atau keluarga terdekat karena ia belum memiliki kemampuan untuk menghasilkan uang. Di level ini tidak banyak yang dapat dilakukan, tapi yang terpenting adalah pengalaman sekaligus action untuk mulai bekerja, bekerja apa saja boleh yang penting halal
Kelas 2, Financial Solvency yakni level pas pasan. Di kelas ini berarti kita sudah mampu untuk membiayai kebutuhan pribadi tanpa bantuan dari pihak lain. Dalam kondisi ini yang kita butuhkan ialah menemukan leader yang baik untuk pengembangan skill yang nantinya akan dapat dijadikan bekal naik kelas, serta mulai belajar mengatur keuangan dengan cara manage kebutuhan menggunakan skala prioritas.
Kelas 3, Financial Stability. Berada di kelas ini berarti sudah memiliki pendapatan stabil sehingga sesorang mampu menambah jumlah tabungan dan memiliki sedikit dana darurat. Misalnya karena promosi jabatan atau omset bisnis sedang meningkat.
Kelas 4, Debt Free. Pada level ini berarti kita sudah bebas dari hutang konsumtif seperti pinjol dan kartu kredit. Hutang yang masih diperbolehkan di kelas ini adalah utang Hipotek.
Kelas 5, Financial Security. Di kelas ini, artinya anda sudah memiliki skill yang dapat menghasilkan pendapatan cukup tinggi serta memiliki kesempatan meningkatkan investasi. Anda tidak perlu khawatir bagaimana cara membayar biaya hidup. Tapi berhati-hatilah karena kelas ini banyak jebakan, godaan dan tipu muslihat, mengapa? Karena di level ini biasanya cukup banyak previlege yang kita dapatkan seperti credit card cicilan 0%, airport launch, bahkan diskon marketplace hingga promo makan di resto.
Bukan hanya itu, pendapatan naik biasanya cenderung memperkuat propaganda konstruksi sosial yang berusaha me-legitimasi semacam bisikan syaitan seperti “gaji naik nih, ganti smartphone baru ah, ngopi di starbucks yuk..”.
Jika anda ingin naik kelas, syarat utamanya adalah berusaha bertahan untuk tidak menambah gaya hidup dengan mengalihkan alokasi pendapatan pada instrument investasi dengan lebih agresif. Karena di kelas 1 sampai 5 sejatinya kita masih berada dalam Red Risk, saya biasa menyebutnya Kerja Rodi.
Red Risk adalah sebuah ilustrasi di mana kita masih hidup dengan repetisi aktivitas bangun pagi, berangkat kerja, bayar cicilan, beli ini itu untuk kebutuhan hingga berakhir miris tak ada sisa setiap akhir bulan. Misi kita adalah keluar dari Red Risk secepat mungkin menuju destinasi selanjutnya.
Kelas 6, Financial Independent. Biasanya, tidak banyak orang yang mampu mencapai level ini, jumlahnya hanya sekitar 20% karena butuh mindset, nyali, mental, serta karakter tahan banting untuk meraihnya. Tapi jika anda berhasil meraihnya saya ucapkan selamat, karena di level ini kita memiliki jumlah privilege lebih banyak.
Sebagai contoh, kita berhasil mengembangkan beberapa bisnis baru artinya, kita juga memiliki kebebasan dalam bekerja, bahkan mungkin bebas dari bos atau klien rewel yang bikin jengkel. Kita bebas menentukan siapa saja yang akan kita layani serta bebas memilih pekerjaan yang lebih meaningfull. Tapi meski demikian, syarat utamanya untuk naik kelas tetaplah sama, yakni tidak menambah gaya hidup.
Kelas 7, Financial Freedom. Berada di kelas ini berarti anda sudah mendapatkan semua unsur yang ada dikelas sebelumnya. Hal ini juga berarti kita selalu memiliki cukup uang untuk melakukan apapun yang kita mau. Seperti mobil dan rumah mewah mungkin, atau bahkan pergi jalan-jalan keliling dunia sebab biaya hidup kita sudah tercover dari pendapatan pasif kita.
Perlu untuk diketahui, dikatakan mencapai merdeka finansial apabila pengeluaran tahunan kita tidak lebih dari 4% dari total aset yang telah kita investasikan. Ini juga berarti bahwa aset kita harus mampu menghasilkan cashflow dengan nilai 25 kali pengeluaran tahunan, dengan asumsi peningkatan inflasi sebesar 5% pertahun. Maksudnya, jika kita hari ini ingin pensiun dengan pengeluaran bulanan sebesar 5 juta rupiah, maka minimal kita harus memiliki asset senilai Rp 1,5 milyar. Para ekonom sering menyebutnya dengan 4% rule.
Saya perjelas, misal gaji 10 juta dan kita menabung sebesar 5 juta perbulan maka kita perlu waktu sekitar 25 tahun untuk mencapai level ini. Akhirnya saya mudeng, mengapa rumus neraca di awal selalu ngotot pake spesial simbol matematis ≥ (lebih besar sama dengan). Kemudian anda akan bertanya dan mulai berhitung, sudah berapa ya aset yang kita miliki? Apakah pekerjaan dan penghasilan kita hari ini memungkinkan kita untuk mencapai level ini?
Tentunya, penjelasan dari tiap kelas di atas hanyalah sedikit pencerahan, karena yang namanya kebutuhan setiap manusia itu sangat relatif dan tidak terbatas. Ada orang yang sudah merasa cukup dengan rumah sederhana, makan sayur bening asem tahu tempe sambal terasi, ada pula orang yg merasa cukup jika ia sudah memiliki jet pribadi 10 biji, dan pasti masih banyak standarisasi kecukupan lainnya. Saya yakin banget.
Sebagai informasi, sebenarnya ada 2 kelas lagi di atas Financial Freedom. Sengaja tidak saya ungkap lebih lanjut karena ingin memaksimalkan sikap realistis. Sedikit bocoran, kelas lanjutan yang dimaksud diistilahkan dengan Financial Abundance dan Financial Legacy.
Pada titik level inilah orang biasa menyebut dengan harta tidak akan habis dimakan tujuh turunan tapi juga sekaligus pusing karena terlalu banyak uang. Harta mereka terus bertambah secara otomatis seta berjalan Auto Pilot.
Di sisi lain, saya juga sadar diri, kita ini terlahir bukan dari kalangan sultan ber-privilege eksklusif seperti halnya Elon Musk CEO Tesla yang bapaknya pemilik tambang Emerald di Afrika, atau bahkan Warren Buffett dan Bill Gates yang sepeninggal ia nanti, ia mendedikasikan hampir seluruh harta kekayaannya untuk disumbangkan pada lembaga amal. Intinya, orang-orang ini bukan hanya asal kaya, tapi eksistensi mereka juga mampu memberikan sumbangsih bagi peradaban dunia.
Sebagaimana yang diungkap Al Ghazali, meski ia mengkritik manusia yang bekerja hanya sekedar untuk menyambung hidup, tapi Al Ghazali juga memperingatkan bahwa sikap selalu ingin lebih memiliki kecenderungan dalam keserakahan.
Manusia selalu berusaha mengatasi rasa takut, meski ia telah memiliki 2 tambang emas, pastilah mereka juga menginginkan lembah yang ke 3. Manusia selalu khawatir dengan berpikir bahwa mungkin harta yang dimiliki saat ini tidaklah cukup, tidak mampu bertahan dan bahkan mungkin sewaktu-waktu akan hancur. (lebih lanjut baca Ihya’ Ulumiddin Juz 3 hlm 346).
Akhir kata, segera persiapkan diri dengan senantiasa menyusun strategi untuk menghadapi masa terburuk, tetap semangat bekerja, dan semoga bermanfaat.
Amin Ya Rabbal Alamin.