Oleh : Rijal Mumazziq Z., M.H.I
Di antara murid Imam Syafi’i, ada seorang yang merasa tidak secerdas sahabat-sahabatnya. Ketika yang lain langsung memahami materi yang disampaikan gurunya, dia masing mlongo saja, belum nyantol.
Arrabi’ bin Sulaiman, nama siswa ini, bahkan seringkali harus mengulang-ulang materi yang dia pelajari. Hebatnya, Imam Syafi’i tetap sabar dan telaten membimbingnya. Karena merasa malu dan mulai minder, dia mulai meninggalkan majelis ilmu. Tak disangka, Imam Syafi’i mencari Arrabi’ dan beliau menawarkan kursus privat kepadanya. Keren dan sabar banget, kan? Sang guru senantiasa memotivasinya, “Andaikata aku bisa memberimu ilmu semudah menyuapkan makanan, niscaya sudah kulakukan, Arrabi’”.
Imam Syafi’i paham, apabila karakter para santrinya bermacam-macam. Ada yang jenius, ada yang cerdas, ada yang biasa-biasa saja, bahkan ada yang lelet seperti Arrabi’ ibn Sulaiman. Maka jenis penanganannya pun harus berbeda-beda, disesuaikan dengan kapasitas santrinya masing-masing. Seorang guru harus sabar mendidik, tidak boleh kasar saat membimbing, dan tidak diperbolehkan menghina pelajar yang akan menyebabkan dia malu dan mider saat belajar.
Oleh karena itu, pesan Imam al-Ajuri dalam Akhlaq al-Ulama, sebagai pendidik anda harus sabar, karena tidak tahu siapa di antara murid-murid ini yang nantinya akan menjadi murid yang paling bermanfaat bagimu.
Dan, benarlah apa yang dikatakan Imam al-Ajuri, Arrabi’ bin Sulaiman yang di masa belajarnya merasa minder karena tidak secerdas para sahabatnya, ternyata menjadi salah satu pembesar madzhab Imam Syafi’i di kemudian hari. Ketelatenan sang guru saat mendidiknya telah membuahkan hasil.
Di sisi lain, ada kegigihan Ilkiya al-Harrasi, sahabat Imam al-Ghazali saat belajar kepada ulama besar, Imam al-Haramain. Ilkiya, yang merasa tidak secerdas al-Ghazali, setiap hari bahkan harus mengulangi hafalan materi pelajarannya sambil menaiki puluhan tangga, naik turun, naik turun, sebagai upaya agar hafalannya awet bersemayam di otaknya.
Agar lebih leluasa belajar, Ilkiya menawarkan diri sebagai khadim alias gurunya, Imam al-Haramain, yang kemudian mendidiknya dengan penuh kesabaran. Kelak, keuletan dan kegigihan di masa muda ini menuai hasil, karena Ilkiya dikenal sebagai salah seorang pakar fiqh jempolan yang juga menulis kitab tafsir al-Qur’an dengan perspektif al-Qur’an.
***
Kalau contoh yang saya berikan terlampau melangit, mari kita cermati kisah di bawah ini. Sebuah kejadian di tahun 1960-an, di salah satu kota di Jawa Timur. Magnet ceritanya ada pada diri KH. Hamid, Pasuruan, yang masyhur sebagai waliyullah. Kisah ini saya sadur dari biografi keteladanan beliau, Percik Keteladanan Kiai Hamid Pasuruan.
Suatu hari di sekitar tahun 1960-an, salah seorang santri beliau yang menjadi pimpinan GP Ansor Cabang Pasuruan nyaris putus asa dalam kaderisasi di ranting-ranting. Pasalnya, dari 100 peserta kaderisasi, paling banter hanya ada tiga sampai lima kader saja yang betul-betul militan. Dalam kegalauannya ini, si santri memutuskan sowan pada Kiai Hamid dahulu untuk konsultasi.
Saat dia sowan, sembari menunjuk pada pohon-pohon kelapa yang berbanjar di pekarangan rumah, Kiai Hamid berkata panjang lebar.
“Aku menanam pohon ini, yang aku butuhkan itu buah kelapanya. Ternyata yang keluar pertama kali malah blarak,1 bukan kelapa. Setelah itu glugu,1 baru setelah beberapa waktu keluar mancung. Mancung pecah, nongol manggar, yang (sebagian rontok lalu sisanya) kemudian jadi bluluk, terus (banyak yang rontok juga dan sisanya) jadi cengkir, terus (sebagian lagi) jadi degan, baru kemudian jadi kelapa. Lho setelah jadi kelapa pun masih ada saput, batok, kulit tipis, yang semua itu bukan yang saya butuhkan tadi. Lantas, ketika mau diambil santannya, masih harus diparut kemudian diperas. Yang jadi santan tinggal sedikit. Lha itu sunnatullah. Lha yang 95 orang kader itu, carilah, jadi apa dia. Glugu bisa dipakai untuk perkakas rumah, blarak untuk ketupat.”
Jadi, kalau ingin mencetak orang pintar, tidak bisa diharapkan bahwa semua murid di kelas itu bakal jadi pintar semua. Pasti ada seleksi alam, akan ada proses pengerucutan. Meski begitu, bukan berarti pendidikan itu gagal. Katakanlah yang jadi hanya 5 %, tapi yang lain bukan lantas terbuang percuma. Yang lain tetap berguna, tapi untuk fungsi lain, untuk peran lain, untuk kemanfaatan yang lain.
Sebagaimana Imam Syafi’i, Kiai Hamid telah mengajarkan apabila dalam mendidik para murid, seorang guru sabar, telaten, dan berpikiran luas. Seorang guru harus mencermati kemampuan yang dimiliki oleh para anak didiknya. Tidak gebyah uyah, menggeneralisir.
Kalaupun seorang murid tidak memiliki kemampuan memadai di bidang ilmu fiqh, dimaklumi saja, mungkin bakatnya bukan di situ, melainkan di bidang teknik. Kalaupun ada yang lemah di bidang matematika, dimaklumi saja, mungkin potensi keilmuannya tidak terletak dalam ilmu berhitung, melainkan di bidang yang lain, bisa ahli pertanian, bisa juga berbakat di bidang seni, bisa pula punya kemampuan di sektor lain. Siapa tahu. Toh, pendidikan bukan semata mendidik para murid agar pintar ini itu, melainkan agar menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesamanya (khairun nas anfa’uhum linnnas), bukan?
Wallahu A’lam Bisshawab
Tulisan di atas saya muat dalam buku “Kiai Kantong Bolong” (Jakarta: Quanta, 2017)