Mas Ibra dan Potensi Anak-Anak Muda NU Menjelang Perayaan 1 Abad NU

Bagikan sekarang

Oleh: Rijal Mumazziq Z

Pertama kali tahu profilnya dari cerita tutur kakaknya, Gus Ahmad Khubby Ali R. Gus Bobby cerita kalau ada satu adiknya, Dr Ibrahim Kholilul Rohman, yang keluyuran cari ilmu lalu berkiprah di Eropa. Putra KH. Hafidz Dhofir, Blitar, berkelana di Swedia, Spanyol, lalu ke Portugal, sebagai akademisi. Keren ya!

Di negara-negara ini, Mas Ibra menjadi peneliti di Europe Commission, lalu di Post Doctoral Chalmers University, Swedia; kemudian di United Nation University E-Government (UNU E-GOV) – Guimares Portugal. Setelah pulang ke Indonesia, dia aktif menulis di media massa, khususnya Jakarta Post, juga menjadi narasumber di TV, maupun jadi pemateri webinar internasional. Melihat bahasa Inggrisnya yang nglewes saat menjelaskan materi, kecerdasan linguistiknya tampak. Bahkan aksen Blitar-nya hilang. Hahaha.

Tahun 2019, ketika saya dikirimi buku yang ditulis Mas Ibra dan istrinya, Mbak Riana Garniati Rahayu yang berjudul “Menjejak Andalusia: Tahun-tahun Penuh Hikmah di Bumi Islam Pernah Berjaya”, tahulah saya, pasangan ini bukan saja asyik diajak ngobrol, melainkan juga traveler sejarah yang detail. Mereka mengunjungi reruntuhan peninggalan peradaban Andalusia, dari benteng hingga istana, masjid hingga capaian arsitektural lain. Baik di Cordoba (Qurthubah), Sevilla (Isybilliyyah), Granada (Gharnathah), Toledo (Thalaytulah), dan beberapa peninggalan masa lampau di tepi sungai Guadalquivir (al-Wadiy al-Kabir).

Tiba di Spanyol pertama kali, 2013, dasar santri, alih-alih menziarahi markas klub bal-balan dari Nou-Camp, Santiago Bernabeu, Ramon Sanche Piszjuan atau Wanda Metropolitano, mereka malah napak tilas sejarah dengan mengunjungi Gibraltar (Jabal Thariq) yang menjulang gagah. Di atasnya ada Moorish Castle, benteng batu kokoh yang didirikan kaum muslimin dan kemudian difungsikan sebagai penjara hingga tutup tahun 2010.

Kunjungan “ngeri-ngeri sedap” mereka rasakan saat menapak Castillo de La Jorge alias Kastil Inquisisi, tempat penyiksaan dan eksekusi bagi kaum muslim dan Yahudi yang enggan berpindah agama Katolik, di era Raja Ferdinand-Ratu Isabella. Mengapa pemerintah Spanyol mempertahankan tempat suram ini? Konon, sebagai pengingat, agar tidak lagi ada pemaksaan pindah agama yang disertai kekejaman brutal.

Di buku tersebut, kita bukan saja menikmati ulasan jejak peninggalan Islam di semenanjung Iberia: Spanyol dan Portugal, melainkan juga nasib kaum muslimin minoritas saat ini di sana. Muslim pribumi Spanyol, bukan imigran. Yang menyewa salah satu ruangan di basemen apartemen untuk dimanfaatkan sebagai masjid, dan manakala Idul Adha tiba, mereka harus sembunyi-sembunyi menyembelih hewan, di sebuah gudang terpencil, sekaligus membersihkan jejak penyembelihannya. Maklum, di Eropa, nyembelih hewan tidak boleh di sembarang tempat dilakukan. Ketat.

Dari buku tersebut, saya baca, Mas Ibra punya sahabat kental, seorang muslim asli Spanyol. Sebut saja namanya Amir. Dia mantan model dengan bayaran tinggi di Paris, Madrid dan Milan, yang memutuskan meninggalkan keglamoran lantas menjadi muslim asketis yang rasional, bermazhab Maliki, dan punya citarasa tasawuf yang oke. Amir ini tipikal marbot sekaligus takmir masjid yang totalitas dan loyalitasnya menjadi “manusia masjid” sungguh luar biasa. Kiprahnya dalam dakwah ke sesama pribumi Spanyol juga keren. Mas Ibra banyak mengulas kekagumannya terhadap sosok Amir dan perjuangan muslim Spanyol ini dalam bukunya di atas.Ada beberapa muslim bule Spanyol yang seperti ini. Mereka menjadi muslim yang baik, setelah menempuh jalan permenungan, dan berusaha mengokohkan iman di tenga sekulerisme Eropa.

Setelah tinggal di Skandinavia dan Iberia selama beberapa tahun, Mas Ibra kembali ke Tanah Air. Dia sempat bekerja di Samudra Indonesia, sebuah prusahaan logistik perkapalan tertua dan terbesar di Indonesia milik keluarga Soedarpo Sastrosatomo yang berjuluk Raja Kapal. Hingga hari ini pun, biasanya dia juga diminta menjadi narasumber atau panelis tentang transportasi.

Jika sebelumnya saya hanya ngobrol via chat, maka pertemuan fisik saya dengan Mas Ibra pada Maret 2021 silam. Ketika saya takziah atas wafatnya ibunda Mas Ibra, Nyai Hj. Khafshah Nurdinina Shofwan, di Pondok Pesantren Maftahul Uluum Jatinom Kanigoro Blitar.

Dari situ saya banyak dapat cerita soal Islam di Eropa, khususnya di Skandinavia dan semenanjung Iberia. Mas Ibra juga pernah ke Universitas Leiden Belanda, semata-mata melacak data dan arsip kolonial yang berkaitan dengan buyutnya, KH. Muhammad Bukhori, Jatinom, Blitar, yang pernah diasingkan di Digul dan Banda Neira (1926-1938) lantaran aktivitas politiknya di Sarekat Islam. Dari penelusuran sejarah itu pula, dia mendapatkan data-data penting terkait sosok buyutnya yang revolusioner tersebut. (Di foto saya dan Mas Ibra, ada salinan fotokopian kitab karya Kiai Bukhori tentang tarekat, belum baca tuntas. Tampaknya tentang Tarekat Syattariyah dan Akmaliyah)

Terakhir kali berjumpa Mas Ibra saat kakaknya, Bu Madiana Havidz, ngunduh mantu di Hotel Majapahit Surabaya, 25 Desember 2021 silam. Kebetulan saya dipasrahi memberi Mauidzoh Hasanah pasca akad.

Kini, Mas Ibra dipasrahi amanah baru sebagai anggota Badan Pengembangan Inovasi Strategis PBNU 2022-2027 yang diketuai Mbak Yenny Wahid. Saya cek susunan pengurusnya, wuih orang-orang keren dan potensial semua. Ada Prof. Abdul Gaffar Karim pula.

Melihat ada tiga badan di PBNU yang dibentuk Gus Yahya Cholil Staquf: Pengembangan Inovasi Strategis, Pengembangan Administrasi Keorganisasian dan Kader, serta Badan Pengembangan Jaringan Internasional, saya semakin optimis NU bisa selalu bangkit menjejak usia seabad.

Selamat ya Mas Ibra. Semoga diberikan kemudahan dalam berkhidmah di NU, sebagaimana kakek, ayah dan ibunda njenengan yang total mengabdi di Nahdlatul Ulama.

Wallahu A’lam Bishshawab

Penulis

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top