Masih Tentang Modal Usaha: Ada yang Mau tapi Malu

Bagikan sekarang

Oleh : Rijal Mumazziq Z

Ada dua hal yang harus dicermati dari penyaluran modal kewirausahaan melalui skema zakat produktif bagi para guru ngaji.

Pertama. Kekurangannya terletak pada kontroling dan monitoring. Khususnya agar aset tidak dijual oleh penerima. Saya pernah menyalurkan zakat maal titipan Kang Indrajati untuk seorang guru ngaji. Saya salurkan dengan catatan harus dibelikan anak ayam beserta pakannya. Harapannya agar kelak bisa dikembangkan. Tapi ternyata setelah ayam bocil ini gede, langsung dijual dan keuangan tidak diputar lagi untuk pengembangan. Mandeg. Padahal harapannya agar fulus yang kembali modal ataupun dihasilkan bisa dibelikan anak ayam lagi yang lebih banyak.

Tapi ada juga guru ngaji yang bisa mengembangkan usaha jualannya setelah mendapatkan bantuan modal dari zakat maal ini. Intinya tergantung pada pola pikir dan kecerdasan finansial mereka juga. Oke ini dua kasus berbeda di Jember.

Di Surabaya ada tetangga saya dikasih rombong bagus oleh salah satu lembaga nirlaba. Konsep awalnya dipakai jualan gorengan. Tapi pada akhirnya juga nganggur dan dijual dengan alasan kepepet. Aset dan alat produksi pun hilang.

Kedua, pentingnya menumbuhkan minat wirausaha. Ini yang penting. Karena ada tipikal yang mau tapi malu. Mau dananya, tapi malu berwirausaha. Sisanya faktor gengsi. Makanya saat ini saya lebih condong membantu penyaluran zakat maal ke beberapa guru ngaji yang masuk kategori asnaf yang punya mentalitas wirausaha, minimal tidak gengsian, dan juga sudah punya usaha di rumahnya, misalnya jualan sosis goreng, atau punya usaha warung kecil-kecilan. Cara ini dipakai agar kebutuhan modalnya bisa dikembangkan melalui pemberian para muzakki. Cita-cita KH. MA. Sahal Mahfudz ya begini, menaikkan derajat mustahiq yang kelak diharapkan menjadi muzakki. Cita-cita elegan!

Di INAIFAS pula, saya pernah disambati mahasiswi yang kesulitan ekonomi dan berasal dari keluarga miskin. Diikutkan Beasiswa Pemkab Jember tidak lolos. Tampaknya terkait IPK-nya yang rendah. Pengennya dapat keringanan biaya dari kampus. Saya tawari modal usaha (dana titipan dari sahabat dokter di Surabaya), kurang lebih Rp 1,5 juta. Dana tersebut saya tawarkan untuk beli rak kaca kecil, kompor dan elpiji, sisanya buat beli sosis, krupuk udang mentah, tempura, minyak goreng, saos, dll. Saya berharap dia bisa berwirausaha di rumah dengan skema tersebut dan hasilnya bisa dicicil buat biaya kuliah. Apa jawabnya?

“Saya malu jualan, pak!”

Aduuuuh gregeten tenan. Akhirnya ya nggak saya salurkan bantuan modal tersebut. Yang saya jumpai, ada 2 mahasiswa yang ketika ditawari modal, pikirannya malu atau gengsi.

Kudu tak hih ae!?

Makanya seminggu silam, INAIFAS memilih memberi Beasiswa Modal Usaha bagi mahasiswa yang punya usaha sudah jalan dan tidak punya tanggungan keuangan di kampus. IPK nya saya syaratkan minimal 3,6. Alhamdulillah lolos 5. Masing-masing dapat Rp 1 jutaan. Lumayanlah.

Kesimpulannya, tawaran kail tidak mesti disambut gembira. Ada kalanya yang diinginkan hanya ikan. Enggan berproses. Alasannya variatif. Tapi lebih banyak yang malu, gengsi, dan enggan cari duwit dengan cara begitu.

Kesimpulannya perlu monitoring secara berkelanjutan juga pelatihan di awal untuk membentuk mindset bahwa aset pokok tidak boleh dijual terburu-buru dengam alasan kepepet.

Wallahu A’lam Bishshawab

Penulis

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top