Pembaruan Pesantren Menjawab Tantangan

Bagikan sekarang

Wawancara Majalah AULA (Juni 2022) dengan Rijal Mumazziq Zionis, Rektor INAIFAS Kencong, Jember.

Gagasan pembaruan pendidikan pesantren yang dilakukan oleh Kiai Wahid Hasyim pasca pulang dari belajar di Makkah. Pembaruan dimulai dari sistem, metode pembelajaran hingga kurikulum pendidikan. Hal itu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan santri.


Bagaimana anda melihat sosok Kiai Abdul Wahid Hasyim?

Sebagai seorang yang lahir, dididik, dan besar di kalangan pesantren, arus pemikiran Kiai Wahid Hasyim sangat kental dengan nilai-nilai Islam. Berkat kecerdasan yang luar biasa dan pergaulan yang luas, membuat dunia pergaulan Kiai Wahid Hasyim tidak hanya terbatas di lingkungan pesantren saja. Ia tampil menjadi tokoh nasional yang ikut mewarnai sejarah kemerdekaan, dan salah satu yang membidani konstitusi di Indonesia.

Bagaimana anda melihat sosok Kiai Wahid Hasyim sebagai tokoh pembaruan pesantren?

Gagasan pembaruan pendidikan pesantren dari Kiai Wahid Hasyim bisa dilacak semenjak ia pulang dari belajar di Makkah. Sejak saat itu ia mulai aktif membantu ayahnya mendidik para santri. Karena memiliki semangat perubahan yang tinggi dan didukung basis epistemologi Islam dan keilmuan modern, maka yang ia lakukan adalah mengupayakan pembaruan pendidikan di pesantrennya. Dalam berbagai pemikiran dan tindakannya, Kiai Wahid Hasyim menekankan perlunya pesantren melakukan inovasi agar up-date dan bergerak dinamis dengan ritme gelombang perkembangan zaman.

Dinamika sistem pendidikan pesantren adalah pergeseran, perubahan dan perkembangannya pesantren sesuai dengan perkembangan zaman. Dan faktor yang tidak bisa dipungkiri adalah relevansi kualitas dari sistem pendidikan pesantren sangat tergantung pada kualitas kiai sebagai tokoh kunci.

Melihat itu, menurut anda apa yang dilakukan Kiai Wahid Hasyim untuk pesantren?

Peningkatan kualitas para santri. Di antara sasaran perubahan yang ia lakukan adalah; metode yang digunakan dalam proses belajar mengajar, tujuan dan harapan santri belajar di pesantren dan pengenalan mata pelajaran dari Barat. Secara garis besar pembaruan pendidikan yang dilakukan oleh Kiai Wahid Hasyim bisa diklasifikasikan dalam beberapa aspek: metode pengajaran, kurikulum dan pembaruan institusi.

Menurut anda pembaharuan apa yang dilakukan Kiai Wahid Hasyim?

Pembaruan di bidang metodologi pengajaran. Selain peran aktif seorang guru, yang paling menentukan keberhasilan pembelajaran adalah metode yang digunakan. Metode atau Strategi merupakan usaha untuk memperoleh kesuksesan dan keberhasilan dalam mencapai tujuan.

Apakah ada perubahan pada metode pengajaran di pesantren yang dilakukan oleh Kiai Wahid Hasyim?

Ada. Kiai Wahid Hasyim mengkritik dua metode pembelajaran yang diterapkan di pesantren yaitu sorogan dan bandongan. Pada sistem sorogan, seorang guru harus mengawasi, menilai, dan membimbing secara individual kemampuan seorang santri. Di sisi lain, santri juga dituntut harus “mempresentasikan” kemampuannya dalam membaca kitab kuning face to face dengan sang kiai.

Sedangkan pada sistem bandongan, seorang guru akan membacakan, menerjemahkan, menerangkan, dan mengulas sebuah kitab kuning di hadapan sekelompok santri yang mendengarkan dan menyimak penjelasan tersebut sambil memberi catatan pada kitab miliknya sendiri. Namun Kiai Wahid Hasyim tidak ingin menghapus metode pengajaran ini, hanya saja ia mengusulkan untuk mengadopsi sistem tutorial, sebagai ganti dari metode bandongan.

Menurutnya, metode bandongan sangat tidak efektif dalam mengembangkan inisiatif santri. Hal ini disebabkan karena di kelas dimana metode bandongan diterapkan, santri hanya datang mendengar, menulis, dan menghafal pelajaran yang diberikan; tidak ada kesempatan bagi santri untuk mengajukan pertanyaan atau mendiskusikan pelajaran.

Kiai Wahid Hasyim sampai pada kesimpulan awal bahwa metode bandongan membuat santri pasif. Sistem bandongan menutup rapat pintu kreativitas dan inisiatif santri karena hanya berlangsung satu arah. Dialog antara kiai dan santri menjadi sesuatu yang “tabu” dalam metode bandongan.

Lantas apa tawaran Kiai Wahid Hasyim?

Untuk itulah ia menawarkan ide tentang pengajaran memakai metode tutorial. Metode ini tidak harus dilakukan oleh kiai secara langsung, tetapi juga bisa dilakukan oleh para santri senior selaku badal (wakil) dari kiai. Dengan metode ini, para santri dibiasakan untuk terlibat dalam diskusi intensif dengan para tutornya.

Selain itu, nampaknya dengan menerapkan sistem ini, Kiai Wahid Hasyim berharap dapat mengurangi hubungan patron-klien yang masih sangat kuat di antara kiai dan santri.

Selain itu, Kiai Wahid Hasyim juga mengoreksi harapan para santri belajar di pesantren. Ia mengusulkan agar kebanyakan santri yang datang ke pesantren tidak berharap menjadi ulama. Oleh karena itu mereka tidak perlu menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam mengakumulasi ilmu agama melalui teks-teks Arab.

Mereka dapat memperoleh ilmu agama dan buku-buku yang ditulis dengan huruf latin dan menghabiskan sisa waktunya untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dibarengi kemampuan menguasai keterampilan yang berguna secara langsung di tengah masyarakat dimana mereka berada.

Apakah ide Kiai Wahid Hasyim langsung diterapkan kala itu?

Dua usulan di atas masih belum diterima oleh KH M Hasyim Asy’ari, sebab ide putranya masih dianggap radikal dan bertolakbelakang dengan pemikiran para kiai saat itu.

Apakah Kiai Wahid menawarkan ide alternatif dalam pengembangan pesantren?

Ada. Seperti para santri tidak perlu menghabiskan waktu sampai puluhan tahun untuk belajar bahasa Arab dan mengakumulasi pengetahuan dari para kiai berbagai pesantren. Para santri dapat mempelajari agama Islam dari buku-buku yang ditulis dengan bahasa non-Arab. Para santri dapat memfokuskan waktunya untuk mempelajari berbagai pengetahuan dan keterampilan lainnya yang dapat digunakan untuk kepentingan dirinya sendiri dan masyarakat.

Selain itu, adakah pembaharuan pesantren yang dilakukan oleh Wahid Hasyim?

Gagasan pembaruan pendidikan yang monumental adalah saat Kiai Wahid mempelopori berdirinya Madrasah Nizamiyah pada tahun 1935. Berdirinya Madrasah Nizamiyah berawal Kiai Wahid Hasyim melihat terbatasnya mata pelajaran yang diberikan di pesantren, membuat santri sulit bersaing dengan temannya yang belajar dengan menggunakan sistem pendidikan Barat.

Kelemahan santri, kurangnya penguasaan terhadap ilmu-ilmu Barat, seperti penguasaan bahasa asing dan keterampilan hidup. Dengan dibekali keterampilan hidup, ia berharap para santri mampu bersaing untuk memperebutkan posisi dan peranan penting di masyarakat sebagaimana lulusan lembaga pendidikan umum.

Apa keunggulan madrasah Nizamiyah?

Madrasah Nizamiyah memakai kurikulum integral antara ilmu agama dan ilmu umum. Kiai Wahid menolak anggapan adanya pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum. Karena itulah, yang pertama kali ia lakukan melalui Madrasah Nizamiyah adalah dengan memperbarui kurikulum.

Institusi baru yang digagas oleh Kiai Wahid Hasyim menggunakan ruang kelas dengan kurikulum 70% pelajaran umum dan 30% pelajaran agama.
Meskipun ia tak pernah mengenyam pendidikan di sekolah Barat yang dikelola Belanda, akan tetapi dengan visi pendidikannya, Kiai Wahid memperkenalkan ilmu-ilmu umum (sekuler) di Madrasah Nizamiyah, seperti aritmatika, sejarah, geografi, dan ilmu pengetahuan alam, lalu disertai dengan pelajaran bahasa Indonesia, Inggris dan Belanda.

Apakah ini tidak dikatakan kotomi ilmu?

Ada dualisme sistem pendidikan antara pendidikan agama Islam dan pendidikan umum yang memisahkan kesadaran keagamaan dan ilmu pengetahuan. Dualisme ini, bukan hanya pada dataran pemilahan tetapi masuk pada wilayah pemisahan, dalam operasionalnya pemisahan mata pelajaran umum dengan mata pelajaran agama, sekolah umum dan madrasah, yang pengelolaannya memiliki kebijakan masing-masing.

Sistem pendidikan yang dikotomik pada pendidikan Islam akan menyebabkan pecahnya peradaban Islam dan akan menafikan peradaban Islam yang kaffah (menyeluruh).

Penghapusan dikotomi keilmuan ini sesungguhnya jauh-jauh hari telah dilakukan oleh Kiai Wahid melalui gagasan praksis pembaruannya. Kesadaran akan tradisi keagamaan dan pandangannya akan pentingnya logika rasional telah banyak mempengaruhi pemikiran Kiai Wahid.

Kiai Wahid tetap proporsional memposisikan antara keduanya, sebagaimana tergambar dan tertuang dalam kebijakannya, saat menjadi Menteri Agama, untuk mendirikan Sekolah Guru Agama Islam (SGAI) yang memuat kurikulum-kurikulum umum.

Dengan memasukkan pelajaran-pelajaran umum tentu akan membentuk paradigma integratif dan interkonektif bagi guru-guru Agama sebagai tenaga pengajar yang berperan besar dalam menciptakan generasi unggulan dalam rangka mencipatakan masyarakat madani.

Menurut anda apa yang ada di dalam Madrasah Nizamiyah?

Pemikiran Kiai Wahid Hasyim tentang bahasa yang jauh hari sebelumnya ia terapkan di Madrasah Nizamiyah dengan memasukkan pengajaran bahasa asing. Selain itu, akibat dari terobosan melalui Madrasah Nizamiyah, maka jumlah santri juga semakin membludak. Ia dianggap sebagai pilot project pengembangan pesantren di masa depan. Selain itu, Kiai Wahid berusaha membawa terobosan di bidang pendidikan pesantren ini saat ia menjabat sebagai Ketua Departemen Pendidikan NU (LP Maarif).

Ia membentuk panitia kecil yang mendiskusikan kemajuan lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan NU. Seperti madrasah umum di antaranya Madrasah Awwaliyah (dua tahun masa belajar), Madrasah Ibtidaiyyah (tiga tahun masa belajar), Madrasah Tsanawiyah (tiga tahun masa belajar), Madrasah Mu’allimin Wusta, Madrasah Mu’allimin Ulya. Kedua yaitu Madrasah Ikhtisasiyyah (sekolah dengan keahlian khusus), Madrasah Qud’at (sekolah hukum), Madrasah Tijarah (sekolah ekonomi), Madrasah Nijarah (sekolah kehutananan), Madrasah Zira’ah (sekolah pertanian).

Apakah itu semua diterapkan hingga saat ini?

Tidak semua. Hanya kategori pertama yang bisa dilaksanakan, sedangkan kategori kedua belum bisa dilaksanakan karena terbatasnya ahli yang dimiliki oleh kalangan pesantren maupun NU di bidang tersebut. Hal ini sesungguhnya menjadi tantangan bagi pesantren era sekarang untuk mengambangkan apa yang telah digagas oleh Kiai Wahid melalui berbagai varian lembaga pendidikan Islam di atas. Dengan demikian, pesantren memiliki kapasitas melahirkan kader-kader yang tak hanya mahir di bidang keagamaan saja, melainkan juga bisa mendayagunakan kemampuan terbaiknya untuk masyarakat.

Lantas apa dasar pendekatan pembaruan pendidikan yang dilakukan Kiai Wahid Hasyim?

Pada dasarnya ada tiga pendekatan pembaruan pendidikan yang dilakukan pada waktu itu, yaitu pengIslaman pendidikan sekuler modern, menyederhanakan silabus-silabus tradisional dan menggabungkan cabang-cabang ilmu pengetahuan lama dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan modern. AWH memilih melakukan aspek yang ketiga. Dengan demikian terjadi keseimbangan pola pikir para santri.

Apa strategi pembaruan pendidikan yang digagas oleh Kiai Wahid ini dikatakan berhasil, menurut anda?

Strategi pembaruan pendidikan yang dilakukan oleh Kiai Wahid, bisa dikatakan berhasil, karena beberapa hal penting yang selama ini diabaikan oleh kalangan modernis. Pertama, pembaruan yang dilakukan oleh Kiai Wahid tidak urban bias, maksudnya mengakar dan menyentuh akar rumput, karena para santri dan siswa madrasah umumnya adalah dari kalangan grass root. Kedua, meskipun membawa aroma modern, akan tetapi Kiai Wahid tidak menyerang dan mengucilkan ulama tradisional, karena sebagian besar umat Islam Indonesia berada di bawah pengaruh para ulama. Ketiga, kapasitas pribadi Kiai Wahid cukup mumpuni untuk melakukan proses pembaruan didukung dengan faktor kecerdasan, geneologis pesantren dan implikasi pergaulan dengan tokoh pergerakan Islam dari berbagai kelompok.
(Rofii Boenawi)

Penulis

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top