Oleh: Rijal Mumazziq Z[2]
Mendiskusikan pesantren, berarti membicarakan kiprah lembaga yang berusia lebih dari setengah millennium. Walaupun menjadi sentra pendidikan Islam, namun keberadaannya juga menjelma lembaga sosial, kultural, bahkan politik. Untuk memahami sejarah Islam di Indonesia, maka mula-mula harus melihat salah satu unsur terpentingnya, yaitu pendidikan. Dan, salah satu lembaga yang tahan banting hingga saat ini di dalam mewujudkan peradaban Islam di Indonesia adalah pondok pesantren.
Ciri pesantren, menurut Zamakhsyari Dhofier, ditandai dengan lima unsur utama: kiai, santri, pengajaran kitab kuning, asrama/pemondokan, dan masjid.[3] Kelima pilar ini menjadi syarat mutlak. Ada kiai tanpa santri, tanpa masjid, tanpa asrama, maka diragukan kualitasnya. Ada masjid, ada kiai, ada santri, tapi tak ada asrama, maka itu disebut majelis taklim. Ada kiai, santri, pengajaran kitab, tapi tak ada asrama dan masjid, maka itu disebut madrasah diniyah. Ada asrama, tapi tiada kiai dan santri, tanpa pengajaran, maka itu hanya pemondokan alias hotel.
Dalam kajian historis, keberadaan pesantren ini berkembang sejak era Walisongo. Unsur-unsur kependidikan yang sudah mengakar di Jawa tidak dibuang. Melainkan direformasi dan dimodifikasi. Di wilayah pedagogik, pesantren dan etika relasi kiai-santri-masyarakat sebagian diramu dari watak pendidikan Jawa saat itu, dari Mandala, Ashram, hingga Padepokan, dan sentuhan kitab etik bagi pelajar seperti Ta’limul Muta’allim dan pesulukan. Aguk Irawan MN telah melacak akar etika pesantren ini dalam bukunya Akar Sejarah Etika Pesantren di Nusantara (Dari Era Sriwijaya sampai Pesantren Tebuireng dan Ploso).[4] Dalam perkembangannya, pesantren memiliki orisinalitas yang berbeda dengan konsep kuttab, madrasah dan jami’ah. Dari sini kita bisa menilai apabila pesantren bukan saja menjadi fondasi pendidikan Islam saja, melainkan juga para dinamisasi budaya. Yang tidak sesuai dengan misi dakwah dan pendidikan dibuang, yang masih relevan dipertahankan dan dikembangkan. Karena dinamika ini, maka hingga setengah millennium, pesantren menjadi sebuah ”warisan pendidikan dan budaya” yang tetap anggun hingga kini.
Ampel Denta dan Giri Kedaton: Prototip Awal Pesantren Sebagai Kaderisasi Dai
Di era Walisongo, pesantren telah menjadi kawah candradimuka kaderisasi para dai yang hendak dikirim ke luar Jawa. KH. Abdul Ghafur Maimoen, dalam sebuah seminar yang digelar di Surabaya dalam rangka Haul Sunan Ampel,[5] menilai apabila Ampel Denta, tanah perdikan yang dipimpin oleh Sunan Ampel di Surabaya, telah menjadi lahan persemaian kaderisasi dai ini. Para santri yang dianggap sudah mumpuni, dikirim ke wilayah Nusantara Timur melalui rute armada dagang yang dikelola dengan baik oleh Nyi Gede Pinatih, salah satu saudagar kaya di Tuban. Sang saudagar ini, selain memuat komoditas ekspor, juga mengangkut para santri Sunan Ampel ke wilayah timur. [6]
Sunan Giri, anak angkat Nyi Gede Pinatih, kemudian menjadi santri kinasih Sunan Ampel. Kelak beliau melanjutkan proyek Islamisasi wilayah Nusantara Timur. Beliau kemudian mendirikan Giri Kedaton sebagai titik pijak penyebaran Islam. Jika di Sumatera ada Kerajaan Aceh yang punya reputasi politik dan dakwah jempolan dalam kurun abad ke-XVI-XVII, maka di era yang semasa, Giri Kedaton memainkan peranan yang sama. Khususnya pada penguatan jaringan Islam di Nusantara Timur.
Dalam salah satu perbincangan, Gurutta Ahmad Baso, penulis yang konsen di penelaahan naskah klasik Nusantara menjelaskan apabila di kemudian hari, Giri Kedaton menjadi sentra pendidikan kaum bangsawan muslim dari wilayah timur. Seorang pangeran bakal dikirim ke Giri Kedaton yang berlokasi di Gresik, belajar agama dan tata negata, sebelum kemudian dilantik menjadi raja. Raja-raja kepulauan Maluku, Sulawesi dan Sumbawa banyak menempuh pendidikan di Giri Kedaton. Para santri lainnya diutus Sunan Giri menebarkan Islam di Gowa, Tallo, Bali, Sumbawa, Ternate, Banjar dan beberapa kepulauan lain. Termasuk kawasan pesisir Papua. Proses islamisasi di Papua bahkan berjalan penuh tantangan. [7]
Giri Kedaton kemudian menjadi perlambang restu bagi para sultan dari berbagai daerah. Tak sah rasanya jika seorang sultan belum mendapatkan legitimasi dari Giri Kedaton. Dengan demikian, Giri Kedaton yang di awal fokus pada pendidikan dan dakwah, mulai merambah wilayah politik. Jika Gajahmada dianggap sebagai “pemersatu” Nusantara melalui kiprah politiknya, maka Sunan Giri bisa disebut sebagai pemersatu melalui kiprah pendidikan dan dakwahnya, sebagaimana pendapat KH. Saifuddin Zuhri dalam bukunya, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia.
Argumentasi Kiai Abdul Ghofur Maimoen dan Gurutta Ahmad Baso di atas dikuatkan dengan tulisan Hilful Fudhul Sirajudin Jaffar. Penulis asal Bima ini mengupas jaringan Walisongo ini dalam Jaringan Ulama dan Islamisasi Indonesia Timur. Buku ini bagus kita telaah untuk membantah anggapan dakwah Islam di luar Jawa hanyalah proyek “Jawanisasi” sebagaimana sinisme beberapa tokoh. Berbagai naskah lokal, yang bersumber dari notula dakwah maupun catatan para penulis keraton luar Jawa di masa silam, menunjukkan relasi erat, alih-alih dominasi budaya Jawa atas daerah lain, antara Jawa sebagai sentral dengan kawasan lain sebagai penyangga. Sanad ilmiah, ideologis dan ruhaniah yang tersimpul rapi satu dengan lainnya. Kajian Lontara di Bugis, dari Lontara Gowa, Lontara Wajo, Sangaji Kai, dan sebagainya juga memperkuat pendapat simpul keilmuan yang kokoh ini.[8]
Di sisi lain, Sunan Kalijaga memilih melakukan kaderisasi di setiap daerah. Ada banyak jejak keberadaan salah satu walisongo yang dikaruniai usia panjang ini, yang biasanya ditandai dengan adanya petilasan. K.Ng.H. Agus Sunyoto, dalam Atlas Walisongo, mengurai jejak dakwah Sunan Kalijaga di berbagai kepulauan di Nusantara, berikut juga jejaring-jejaring para santrinya.[9]
Dari ini, kita bisa melihat apabila sejak awal, para Walisongo melakukan upaya inovatif dalam menjalankan misi dakwah Islam. Bukan menggunakan kekuatan politik, melainkan menitikberatkan pada aspek dakwah dan kiprah kependidikan. Ini yang tampaknya menjadi kunci dari keberhasilan dakwah damai di kawasan Nusantara yang membentang dari Pattani, Malaysia, Singapura, Brunei, Mindanao-Filipina, dan Indonesia.
Amongrogo, Diponegoro dan Referensi yang Digunakan di Pesantren Jawa Abad XVIII-XIX
Berbeda dengan era Walisongo yang masih dalam proses pembentukan awal pesantren, di era Kesultanan Mataram hingga era Ngayogyakarta dan Kartasura, kronik yang menyebutkan keberadaan pesantren dan nama pengasuhnya, sangat terbatas. Kecuali kita dapati dalam salah satu mahakarya R. Ng. Yasadipura II, Serat Centhini.[10] Syekh Amongraga, keturunan Sunan Giri, dikisahkan menjadi santri kelana yang melakukan rihlah ilmiah di berbagai pesantren di sekujur Pulau Jawa.
Dalam pengelanaan ini, sebagaimana diceritakan dalam Serat Centhini, yang dijuluki sebagai Ensiklopedi Jawa, terlacak bahan bacaan para santri saat itu (abad XVIII-XIX). Di bidang pekih, menggunakan Mukarrar, Sudjak, Kitab Ibnu Kajar, Ilah, Sukbah, dan Kitab Sittin. Selain itu, dalam bait-bait Centhini, juga tertera kitab di bidang teologi. Antara lain, Semarakandi, Kitab Durat, Talmisan, Asanusi, Patakul Mubin, Bayan Tasdik, Sail, dan Djuahiru. Dalam bidang tafsir, disebut Tepsir Djalalen dan Tepsir Baelawi. Di bidang tasawuf, digunakan silabus kitab-kitab yang mengajarkan kesempurnaan hidup dan pola tazkiyatun nafs, antara lain Nglumudin, Adkia, dan Insan Kamil. Selain Insan Kamil karya al-Jili yang filosofis dan rumit, semua referensi di atas masih mayoritas digunakan oleh para santri hingga saat ini. [11]
Dalam perkembangannya, kita temukan juga sudut pandang yang menarik atas referensi yang digunakan di berbagai pesantren pada saat Pangeran Diponegoro hidup. Selain Taqrib, sang pangeran juga mempelajari al-Muharrar-nya Imam Ar-Rafi’i (w. 623 H/1226 M) dan Lubab al-Fiqh karya al-Mahamili (w. 415 H/1024 M). Di sisi lain, dia juga belajar Fath al-Wahhab karya Zakariyya al-Anshari (w. 926 H). Ketika pada akhirnya bergerilya, Diponegoro mengajarkan Taqrib dan juga kitab politik At-Tibr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk karya Imam al-Ghazali, kepada para bangsawan pendukungnya. Sedangkan Kiai Mojo, penasehatnya, kebagian tugas mengajarkan Fath al-Wahhab kepada para laskar ulama. “Bahkan, kitab fiqh ini dijadikan sebagai rujukan dalam bernegosiasi dengan kompeni Belanda saat mengajukan perundingan damai.” tulis Ahmad Baso dalam Islam Nusantara: Ijtihad Jenius dan Ijma’ Ulama Indonesia.[12]
Di bidang politik, Pangeran Diponegoro menggunakan kitab Taj al-Salatin karya Bukhari al-Jauhari, seorang keturunan Persia yang mengabdi di era Sultan Sayyidil Mukammil (1588-1604), Raja Aceh. Kitab yang diselesaikan pada 1603 ini berisi etika menjalankan pemerintahan bagi para birokrat. Termasuk, ada riwayat jika Sang Pangeran di masa mudanya mempelajari karya Syekh Nurruddin Ar-Raniri, berjudul Bustanus Salatin. Karya sebanyak tujuh jilid yang dinilai oleh Azyumardi Azra sebagaireferensi yang tak tergantikan dalam merekonstruksi sejarah awal Islam di wilayah Melayu-Indonesia.[13] Selain dua karya di atas, ada juga kitab berbahasa Melayu yang dirujuk oleh sang pangeran. Judulnya Sulalat al-Salatin. Karena terkesan dengan beberapa kitab ini, ia kemudian merekomendasikannya kepada adiknya, calon Sultan Hamengkubuwono IV, manakala sedang ditempa di keraton.
Selain itu, Diponegoro mulai menyukai tasawuf dengan mengagumi kitab Topah alias al-Tuhfat al-Mursalah ila Ruh an-Nabi karya Muhammad bin Fadlullah al-Burhanpuri, India. Jadi, kitab Topah ini bercorak tasawwuf dan banyak digunakan dalam penguatan ruhaniah pengikut Tarekat Syattariah yang saat ini berada di keraton. Dengan demikian, kitab Topah yang disebutkan dalam Babad Diponegoro adalah karya al-Burhanpuri, bukan Tuhfat al-Muhtaj-nya Imam Ibn Hajar al-Haitami, bukan pula Tuhfat at-Thullab karya Imam Zakariya al-Anshari maupun Tuhfat al-Habib al-Bujairimi, dimana ketiganya merupakan corak kitab fiqh.
Di samping mempelajari kitab-kitab di atas, pangeran juga mempelajari etika seorang negarawan dan ketatanegaraan yang diadopsi dari karya klasik Arab dan Persia seperti At-Tibr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk karya Imam al-Ghazali. Bacaan-bacaan fiqh dan tasawwuf yang dimamahbiak sang pangeran beserta para anggota kerajaan lain, masuk di lingkungan istana melalui jejaring para ulama yang ada di pesantren, juga di masjid pathoknagari, yang dikelola oleh ulama birokrat kerajaan.[14]
Dalam karyanya, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, Peter Carey menulis sebuah fase ketika sudah akil balig, Raden Mas Ontowiryo, nama lahir Diponegoro, menggunduli rambutnya, menggunakan pakaian ala santri, menyamar dengan menggunakan nama Abdurrahim, dan menjalani kehidupan sebagai santri kelana. Menjelajahi beberapa pesantren yang ada, sowan kepada para ulama, dan mengunjungi makam-makam keramat di wilayah kekuasaan ayahnya.
Pisowanan yang dia lakukan sejak belia ini yang menjadi salah satu penyebab kuatnya dukungan di kalangan ulama kelak ketika dia mendeklarasikan Perang Jawa (1825-1830). Dalam catatan Carey, kurang lebih ada 108 kiai, 31 haji, 15 syekh, 12 penghulu Keraton Yogyakarta, dan 4 kiai-guru (mursyid tarekat) yang turut berperang bersama Diponegoro. Yang paling terkenal tentu saja Kiai Mojo, ideolog Perang Jawa yang banyak disebut sebagai penasehat spiritual-intelektual sang pangeran. Juga penghulu Kiai Muhammad Bahwi, yang kelak dalam Perang Jawa dikenal sebagai Muhammad Ngusman Ali Basah. Sebelumnya ia mengabdi sebagai ketua forum ulama Masjid Suranatan (masjid pribadi Sultan). Tokoh lainnya adalah Haji Badaruddin, komandan korps Suranatan yang sudah dia kali naik haji atas biaya keraton dan memiliki pengetahuan tentang sistem pemerintahan Turki Usmani.[15]
Dari berbagai referensi yang digunakan di masa Diponegoro, maupun yang tertera dalam naskah Serat Centhini, alam pengetahuan kalangan santri saat itu sangat kosmopolit. Bukan saja naskah berbahasa Arab yang digunakan, melainkan juga Melayu, Jawa Kuno, dan juga terjemahan dan saduran dari bahasa Persia.
Pesantren dan Konsep Think Globally Act Locally
Salah satu ciri mendasar pesantren adalah ikatan historisnya yang kokoh dengan lokasi dimana ia berdiri. Semacam memperkuat akar kebudayaan dan penguatan unsur lokalitas. Pesantren kuno, yang berdiri dalam kurun abad ke 18 hingga dua abad setelahnya, lebih terkenal dengan nama desa. Gebang Tinatar, Ponorogo;[16] Tebuireng, Denanyar, Tambakberas, Lirboyo, Sidoresmo, Sidogiri, Ploso, Rejoso, Genggong, Paiton, Sukorejo, semua di Jawa Timur; Guluk-Guluk, Bata-Bata, Banyuanyar, Kademangan, di Madura; Kajen, Tegalrejo, Sarang, Leteh, di Jawa Tengah; Krapyak Yogyakarta, hingga di Suryalaya, Cipasung, Buntet, di Jawa Barat: semua adalah nama desa. Keberadaan pesantren turut mempopulerkan nama kampung-kampung ini.
Desa adalah penyangga peradaban, sokoguru yang menopang orang-orang hebat, tapi seringkali dipandang remeh sebagai wilayah periferal, tidak kosmopolit, ketinggalan zaman, dan anggapan pejoratif lainnya. Namun, berkat kiprah para kiai ini, kita memahami bahwa mereka bukan saja senafas dengan kehidupan orang kampung, melainkan juga mempopulerkan desa kelahirannya, atau lokasi tempat mereka mendirikan pesantren ke kancah nasional, bahkan internasional. Para kiai pendiri ini mengikuti jejak para pendahulunya yang selalu bangga dengan identitasnya sebagai “wong ndeso” dan identitas primordialnya: Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Mahfudz At-Tarmasi, Syekh Sholeh bin Umar As-Samarani, Syekh Mukhtar al-Bughuri, Syekh Baqir al-Jugjawy, Syekh Junaid al-Batawi, Syekh Khatib Minangkabawi, Syekh Khatib As-Sambasi, Syekh Abdul Ghani al-Bimawi, Syekh Yusuf al-Maqassary, dan Syekh Yasin bin Isa al-Fadani, dan sebagainya.
Penisbatan diri dengan nama daerah asalnya ini memang menjadi ciri khas tradisi keilmuan Islam. Dalam salah satu dawuhnya, Mbah Maimoen Zubair menegaskan kebanggaan ulama dahulu terhadap kampungnya. Cirinya, menisbatkan nama diri dengan tempat kelahirannya. Biasanya dengan menambahkan ya’ nisbat diakhir nama kampung/kotanya. Misalnya, Imam Abu Zakaria An-Nawawi, yang dinisbatkan pada nama desa Nawa, daerah Hauran, Suriah. Ada juga ad-Damanhuri, Assuyuthi, al-Bukhari, al-Kindi, al-Asfihani, an-Naisaburi, al-Baihaqi, al-Jailani, hingga Imam as-Sya’rani yang dinisbatkan pada kampung Saqiyah Abu Sya’rah (Mesir) dst.
Pola penisbatan semacam ini berbeda dengan tradisi di kawasan Maghribi (Afrika Utara), yang lebih menyukai penempelan nama kabilah. Misalnya, karena berasal dari kabilah Sanusi, maka Syekh Muhammad bin Yusuf, penulis Ummul Barahin, menggunakan As-Sanusi di belakang namanya. Termasuk kabilah Jazulah yang merupakan asal dari Syekh Sulaiman al-Jazuli, penyusun Dalail Khairat. Yang paling kondang tentu saja Abu Abdillah Sidi Muhammad bin Daud alias Ibnu Ajurrum, penyusun kitab nahwu Jurumiyah, yang menggunakan nama Asshanhaji karena beliau lahir dari kabilah Shanhajah.
Berpikir global bertindak lokal ini juga bisa lacak dari peran pesantren sebagai juru rawat bahasa lokal. Dalam tradisi pembacaan kitab klasik di pesantren, lazim kita jumpai penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa maknawi (makno gandul) dan bahasa pengantar dalam bentuk metode sorogan (tutorial) dan bandongan (seminar). Jawa, Sunda, Madura, Melayu, antara lain bisa kita jumpai dalam tradisi ini.
Bagi saya, ini adalah upaya jenius dalam melindungi kepunahan bahasa-bahasa lokal, sungguhpun di dalam memaknai kata per kata, banyak sekali kosakata bahasa daerah yang mulai asing karena jarang digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Misalnya, mertela-ake (menerangkan), ndepe-ndepe (merendahkan diri), kepailan (paceklik), rojokoyo (hewan peliharaan), pepaes (perhiasan), aris (murah hati), dodot (pakaian), melanggeri (memberi definisi), dan seterusnya. Ini adalah bahasa Jawa namun penggunaannya sehari-hari nyaris tidak dijumpai. Namun, di pesantren, istilah ini tetap terlestarikan dalam frekwensi ilmiah untuk memaknai kata berbahasa Arab. Di dalam penggunaan bahasa Sunda, Madura, maupun Melayu, tampaknya juga akan dijumpai beberapa kosakata lokal yang sudah punah.
Jangan lupa, pelestarian kosakata Jawa ini bisa berlangsung dengan baik juga berkat “bantuan” aksara Arab-Pegon, abjad Hijaiyah yang telah dimodifikasi sesuai dengan tradisi intelektual di Jawa, Sunda, dan Madura, yang secara penulisan sedikit berbeda dengan Arab-Jawi (Melayu). Di lain pihak dalam ruang lingkup yang sama, para ulama kita juga menganggit kitab berbahasa lokal. Misalnya yang dilakukan Syekh Soleh Darat, KH. Asnawi Kudus, KH. Bisri Mustofa, Ajengan Hasan Mustofa, Ajengan Ahmad Sanusi, Habib Utsman bin Yahya, dan sebagainya. Sebuah upaya menjaga agar identitas dan jatidiri tidak luntur.
Selain dua aspek penjaga kebudayaan di atas, pesantren memiliki kontribusi dalam ruang lingkup yang lebih besar sebagai lembaga yang banyak melahirkan para mujahidin dalam mempertahankan kemerdekaan RI. Tidak perlu saya ulas panjang lebar bagaimana perjuangan para ulama dan santri ini.[17] Sudah gamblang nan jelas. Cetho Welo-Welo dalam istilah Jawa.
Masih ada banyak aspek menarik dari pesantren yang perlu dikupas lebih lanjut. Misalnya, sanad ilmu dan rohani para ulama pesantren, relasi antara kiai dengan satu kiai lain melalui “besanan”, tradisi ilmu hikmah, kanuragan, dan pertabiban, tradisi kepenulisan dalam multibahasa (Arab, Indonesia, dan daerah), kiprah politik kebangsaan para kiai, jaringan internasional ulama Nusantara dengan Timur Tengah, Afrika Utara, Asia Selatan, dan sebagainya.
Yang pasti, mengabaikan keberadaan pesantren dalam lanskap sejarah peradaban Islam Indonesia adalah sebuah hal yang ahistoris, antiklimaks, dan ironis.
Wallahu A’lam Bisshawab
[1] Makalah ini disampaikan dalam Studium Generale dengan Tema “Pesantren dan Sejarah Islam di Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Ma’had Aly Sa’idusshiddiqiyah Jakarta, Kamis, 12 Agustus 2021.
[2] Penulis adalah Rektor Institut Agama Islam al-Falah Assunniyyah (INAIFAS) Kencong Jember.
[3] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES, 1995), 44-60.
[4] Selengkapya bisa dibaca dalam Aguk Irawan MN., Akar Sejarah Etika Pesantren di Nusantara (Dari Era Sriwijaya sampai Pesantren Tebuireng dan Ploso) (Bandung: Iiman, 2019).
[5] Seminar Nasional “Metode dan Dakwah Sunan Ampel Sebagai Fondasi Islam di Indonesia” dalam rangka Haul Agung Kanjeng Sunan Ampel 568. Diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa dan Dakwah Masjid Agung Sunan Ampel (STIBADA MASA) & Mahasiswa Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah (MATAN) Jawa Timur di Hotel Pesona Surabaya, 30 April 2017.
[6] Dalam cerita yang berkembang, Nyi Gede Pinatih inilah yang ‘menemukan’ peti berisi bayi yang terapung di lautan. Bayi ini dinamakan Jaka Samudra, alias Raden Paku, kelak bergelar Sunan Giri. Anak Maulana Ishaq dengan putri raja Blambangan. Semacam ‘Pangeran yang Terbuang’ dalam mitologi berbagai negara, yang akhirnya bisa menjadi raja.
[7] Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa, dalam rihlah dakwahnya di Papua, pernah menuturkan apabila di di tengah perjalanan naik mobil menuju pedalaman, dirinya ketiduran. Di dalam mimpi, beliau didatangi sosok berjubah berwajah Arab, yang mengaku apabila dirinya terbunuh saat berdakwah di kawasan ini ratusan tahun silam. Mimpi yang menyadarkan betapa beratnya medan dakwah di masa lampau.
[8] Kecurigaan, atau sinisme sebagian orang atas “Jawanisasi” yang dilakukan oleh Walisongo dulu, dan para santri Jawa yang berangkat dakwah di luar pulaunya, dulu dan sekarang, hanyalah asumsi prematur. Dugaan yang mengalami ejakulasi dini. Terburu-buru. Ceroboh. Sebab, dalam buku tersebut Hilful Fudhul sebagai peneliti menyajikan ulasan yang bertumpu pada manuskrip-manuskrip lokal.
[9] Selengkapnya baca Agus Sunyoto, Atlas Walisongo (Bandung: Iiman, 2017).
[10] Serat Centhini yang kita kenal sekarang ini dalam 12 jilid yang terdiri dari 772 satuan bait (baca: “pada”) dikarang di zaman Pakubuwana V di tahun Jawa 1742 atau 1814 M. Kemungkinan besar pangeran Mataram yang kelak bergelar Pakubuwana V inilah yang menunjuk dewan penulis yang terdiri dari: R.Ng Yasadipura II, Raden Ranggasutrasna, serta Raden Sastradipura. Kita tahu, Yasadipura II, sang pujangga keraton tersebut, adalah santri Kiai Kasan (Iman) Besari di Pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo, tempat pelarian Pakubuwono II saat pemberontakan Tionghoa (Geger Pacinan, 1742) pecah. Ronggasutrasno pujangga Istana terkemuka penggubah beberapa tembang, sedangkan R. Ng. Sastradipura pernah pernah tercatat mengganti namanya menjadi Ahmad Ilhar setelah kepulangan Haji dari tanah Mekkah, serta mengarang berbagai suluk terkemuka. Selengkapnya bisa dibaca dalam Irfan Afifi, Saya, Jawa, dan Islam (Yogyakarta: Tanda Baca, 2019).
[11] Ulasan atas sastra Jawa-Islam klasik yang asyik bisa kita jumpai dalam karya Nancy K. Florida, Jawa-Islam di Masa Kolonial, Irfan Afifi (ed.) (Yogyakarta: Buku Langgar, 2020).
[12] Ahmad Baso, Islam Nusantara: Ijtihad Jenius dan Ijma’ Ulama Indonesia (Jakarta: Pustaka Afid, 2015), 71.
[13] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004), 228.
[14] Sebagai bangsawan Jawa, Diponegoro juga menyukai karya adaptasi klasik seperti Bharatayudha, Serat Rama, Bhoma Kawya, Arjuna Wijaya, dan Arjuna Wiwaha. Catatan ini disebutkan dalam Babad Kedungkebo. Naskah ini ditulis oleh Cokronegoro I, Bupati Purworejo pertama, sahabat Pangeran Diponegoro saat berguru kepada Kiai Taftazani (Taptojani), dan lantas menjadi menjadi lawannya dalam Perang Jawa. Cokronegoro I yang memihak Belanda telah menjadi “pemandu jalan” dalam gerilya di wilayah Bagelen (1825-2830). Ia dibantu Basah Abdullatif Pangalasan, salah satu komandan laskar Diponegoro yang menyerah, dalam proses menulis Babad Kedungkebo yang berisi lika-liku Perang Jawa versi dirinya dan Belanda, dan menjadi manuskrip penting selain Babad Diponegoro yang ditulis oleh Sang Pangeran. Keren sekali, detail Perang Jawa yang ditulis oleh dua lelakon penting.
Selain itu, teks lain yang diajarkan kepada sang pangeran adalah Joyo Lengkoro Wulang yang salinannya pernah ditemukan di markas besar pasukannya di Goa Selarong pada Oktober 1825. Naskah berbahasa Jawa ini menjelaskan aspek-aspek kenegarawanan dalam bentuk kisah seorang pangeran muda yang berkelana (lelono) ke seluruh Jawa dan berjumpa dengan banyak guru sekuler, guru agama, dan guru mistik. Menurut Peter Carey dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855), ini adalah teks yang memiliki daya tarik universal di antara elit keraton, yang menjadi lambang cita-cita pendidikan ideal bagi para ksatria muda.
[15] Selengkapnya baca Zainul Milal Bizawie, Jejaring Ulama Diponegoro: Kolaborasi Santri dan Ksatria Membangun Islam Kebangsaan Awal Abad ke-19 (Jakarta: Pustaka Compass, 2019).
[16] Pesantren kuno yang didirikan oleh Kiai Ageng Muhammad Besari. Terletak di Tegalsari, Jetis, Ponorogo. Menjadi tempat suaka politik Pakubuwono II, Raja Kasunanan Kartasura, saat terjadi kudeta atas dirinya, 1742. Pesantren ini juga menjadi tempat berguru Ranggawarsita dan kakeknya, R. Ng. Yasadipura II, penyusun Serat Centhini. Mencapai puncak keemasan di era Kiai Ageng Hasan Besari, cucu Kiai Ageng Muhammad Besari.
[17] Zainul Milal Bizawie, salah satu sejarawan NU, mengupas kontrubusi kiai dan santri ini, antara lain, melalui tiga karya terbaiknya: Jejaring Ulama Diponegoro: Kolaborasi Santri dan Ksatria Membangun Islam Kebangsaan Awal Abad ke-19 (Jakarta: Pustaka Compass, 2019), Masterpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama Santri (1830-1945) (Jakarta: Pustaka Compass, 2016), dan Laskar Ulama-Santri dan Resolusi Jihad: Garda Depan menegakkan Indonesia (1945-1949) (Jakarta: Pustaka Compas, 2014).