Riwayat Sayyid Yang Menjadi Telik Sandi

Bagikan sekarang

Oleh: Rijal Mumazziq Zionis, M.H.I

Akhir Januari 2017, di pagi hari saya mengantar Avisa ke Kampoeng Ilmu, di Jl. Semarang, Surabaya, yang banyak menyediakan buku-buku bekas dengan harga murah dan buku-buku agak baru dengan harga njomplang. Jika anak mbarep saya tertarik pada buku anak-anak, pandangan saya justru tertumbuk pada buku yang masih bersegel, “John Sakava: Lika-Liku Perjalanan Mantan Staf Khusus Kepala BIN” (Jakarta: Change, 2015) karya John Sakava sendiri alias Yahya Assegaf.

Jelas, ini sayyid yang khariqul adat, karena memilih menjadi intelijen. Dia melenceng dari tradisi kelompok Sayyid/Saadah Ba’alawi yang banyak menjadi ulama, negarawan maupun pebisnis. Buku bagus ini sesuai labelnya tertera harga Rp 95.000, tapi pagi itu bisa saya tebus dengan harga kocak, Rp 20.000 saja.

Sebagaimana pesepakbola, hanya ada beberapa agen intelijen yang menuliskan kiprahnya usai pensiun dari pekerjaannya. Di luar negeri banyak, tapi di Indonesia hanya segelintir saja yang mau menuliskan kisah spionasenya. Dan, Yahya Assegaf adalah salah satunya. Lahir dari keluarga Arab terpandang di Surabaya, petualangan Yahya dimulai sejak usia 16 tahun, tatkala dia berangkat sendirian ke Hadramaut Yaman, untuk menjumpai ayahnya. Di sini dia juga berguru di Tarim, yang terkenal sebagai kawasan para ulama.

Ketika dia mendapatkan beasiswa di Univ. Al-Azhar dan berangkat bersama duo Shihab: Quraisy dan Alwi, lalu disusul Gus Dur, Yahya hanya betah di bangku perkuliahan selama 3 tahun. Sisanya dia habiskan dengan cara banyak berdiskusi di kedai kopi bersama pelarian politik Yaman Selatan dan beberapa aktivis politik Irak, seperti Saddam Husein, dan kawan-kawannya. Kelak, jejaring politik yang tumbuh di warung kopi ini terus dia bina sampai bisa menjelajahi kawasan Yaman Selatan, Suriah, Irak, Bahrain, Qatar, Saudi Arabia, Dubai dan banyak negara Timur Tengah lainnya.

Di Kairo, tak puas hanya berada di bangku perkuliahan, Yahya kemudian bergabung dengan gerakan anti kolonialisme Inggris di Yaman. Di negara leluhurnya ini, kelak, dia bahkan memegang beberapa posisi vital setelah Yaman merdeka.

Yahya Aseegaf, alias John Sakava ini juga pernah terlibat perburuan kaum Marxis di kawasan Yaman. Di sini, dia menyamar sebagai pelarian politik PKI. Bahkan, sebelum kemudian mempreteli kekuatan rezim Marxis yang kebanyakan juga para sahabatnya saat melawan kolonialisme Inggris, Yahya pernah menjalani pelatihan gerilya di Uni Soviet, kiblat kaum komunis. Petualangannya di jagat teliksandi kemudian mengantarkannya menjelajahi berbagai kawasan di muka bumi, dengan alasan tugas. Beberapa kali Yahya memang nyaris terbunuh dalam petualangannya, namun kelincahannya bermanuver membuatnya awet umur hingga kini.

Di Eropa, ketika mendapat tugas mempreteli jaringan kaum Arab Marxis, dia memanfaatkan perkawanannya dengan para sopir taksi asal Arab dan Afrika Utara serta sisa-sisa kekuatan Republik Maluku Selatan (RMS) untuk menjadi informan bagi dirinya. Karena ibu kandungnya berasal dari Ambon dan dia masih fasih berbahasa lokal, dia cepat mendapatkan kepercayaan dari kaum RMS ini. Perburuannya berlangsung dari Belanda, Jerman, Belgia, lalu ke Djobouti, negara si tanduk Afrika yang berhadapan dengan Yaman. Kali ini, Yahya menyamar sebagai penjual gaharu dan, klaimnya, berhasil menghabisi beberapa spion Uni Soviet yang beroperasi di sini.

Bahkan Uni Emirat Arab pernah menyewa jasanya secara khusus selama beberapa tahun untuk menelusuri dan membendung gejolak sosial politik yang terjadi di negara sekitarnya, termasuk melacak jejak para teroris pembajak British Airways, 22 Nopember 1974, di Dubai. Abu Dhabi juga menggunakan jasa Yahya untuk memantau jaringan pembajak ini di Eropa.

Namun, tak ada yang lebih menegangkan daripada ceritanya soal perburuan teroris bayaran Abu Nidal yang banyak terkoneksi dengan ekstremis kiri dari berbagai negara, seperti Ilich Ramires Sanchez alias Carlos The Jakcal, Baader Meinhof dari Jerman, dan Tentara Merah Jepang.

Ketika bertugas untuk RI, Yahya banyak diberi amanah memetakan gejolak Timur Tengah dan aktor yang bermain di dalamnya, serta melobi diplomat dan kaum elit negara kawasan ini ketika RI membutuhkan suara negara teluk di sidang PBB, khususnya dalam persoalan Timor Leste.

Sebagai seorang yang akrab dengan dunia spionase, pengalaman yang tak terlupakan justru dia alami saat di awal 1988, dia diculik sekelompok tentara. Selama 5 bulan dia disekap dan disiksa saban hari. Untungnya, Azizah Alatas, istrinya berhasil melobi Zulkifli Lubis, bapak intelijen Indonesia, dan Yoga Sugama, mantan bos intelijen RI, untuk menemukan jejak suaminya. Lobi bawah tanah kedua tokoh senior intelijen ini yang turut andil membebaskannya. Dia menengarai, para penculik ini dikendalikan oleh beberapa elit tentara yang tidak menginginkan dirinya berdekatan dengan inner circle-nya Pak Harto.

Harus diakui pengalamannya yang kaya di jagat spionase ini membuatnya menjadi salah satu dari sedikit tokoh intelijen yang bisa bertatapmuka dengan Meir Dagan, orang nomor satu di Mossad, sekaligus bisa menjalin komunikasi yang baik dengan musuh nomor 1 Mossad: Khalid Mash’al, juru bicara Hamas, Palestina, yang tinggal di Damaskus, Suriah.

Sejujurnya saya melihat apabila Yahya punya tipikal seorang ronin (dalam dunia keperwiraan Jepang). Dia bertualang, menyesuaikan diri dengan dunia yang dihadapinya sekaligus menunggu pengguna jasa dan kelihaiannya. Kelak, setelah “lelah” dalam dunia perburuan dan pengintaian, dia kembali ke tanah airnya, beberapa waktu menjelang reformasi. Sempat ingin bergabung dengan PKB, Yahya malah diminta Gus Dur agar bergabung ke PDI-P bersama “titipan”nya, Saifullah Yusuf. Lepas dari Banteng, Yahya kemudian dilibatka dalam tim pemenangan SBY-Kalla. Di pemerintahan SBY, Yahya menjadi anggota BIN sejak 2005-2013, di bawah komando “Papa” Syamsir Siregar dan Sutanto, pensiunan jenderal Polri yang bisa menjadi bos BIN, selain Budi Gunawan.

Yahya, yang juga sahabat karib Gus Dur sejak di Kairo, ini adalah sedikit tokoh yang mau menulis memoar usai pensiun berdinas. Selain Yahya, ada Brigjend (Purn.) Slamet Murtedjo Singgih yang menceritakan perjalanan hidupnya sebagai seorang tentara, melalui “Intelijen: Catatan Harian Seorang Serdadu” (Kata Hasta Pustaka: 2014). Adapun mantan Kabakin Jenderal (Pur.) Yoga Sugama menuturkan kisah hidupnya dalam “Memori Jenderal Yoga: (Bina Rena Pariwara, 1991). Sedangkan Julius Pour hadir melalui biografi Benny Moerdani dalam “Tragedi Seorang Loyalis” (Kata Hasta Pustaka: 2007), Peter Kasenda melalui “Kolonel Misterius di Balik Pergolakan TNA AD” (Kompas: 2012) yang mengisahkan Zulkifli Lubis, bapak intelijen Indonesia. Tak mau kalah, M. Arief Rahmat melalui “Ali Moertopo dan Dunia Intelijen Indonesia” (Narasi: 2013) mengupas jejak salah seorang paling kontroversial di era Orde Baru. Dalam kupasan intelijen militer, AM. Hendropiyono hadir melalui “Operasi Sandi Yudha” (Kompas: 2013).

Sebagai pengaya wacana, Majalah TEMPO sudah pernah mengupas secara khusus dua sosok kontroversial dalam dunia teliksandi Indonesia: Ali Moertopo dan Benny Moerdani. Tapi, yang paling menarik menelusuri sejarah dan kiprah badan intelijen negara kita sejak kelahirannya adalah buku karya Ken Conboy, “INTEL Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia” (Pustaka Primatama: 2007).

Yahya, yang juga dipanggil dengan gelar Sayyid maupun Habib, ini adalah di antara segelintir keturunan Arab yang bergiat di jagat teliksandi. Terlepas dari kiprahnya yang kontroversial di mata aktivis ormas Islam (tanya sama Munarman FPI soal Yahya Assegaf dan anaknya, Hani, niscaya ada banyak umpatan syar’i dari dia hahaha), kehadiran buku ini turut memperkaya wawasan kita mengenai detail operasi intelijen dan kontra intelijen, khususnya di tanah air.

WAllahu A’lam Bisshawab

Authors

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top