Euforia Sidang Skripsi : Catatan Menjelang Wisuda

Bagikan sekarang

Selain Wisuda, momentum yang paling ditunggu-tunggu oleh setiap mahasiswa selama 4 tahun menempuh kuliah adalah Ujian Sidang Skripsi. Menjadi momen paling meneganggkan sebab pada hari itulah penentuan lulus tidaknya sebagai kaum akademis.

Skripsi yang disusun oleh mahasiswa itu berdasarkan ilmu yang telah dipelajari dari jurusan masing-masing. Hasil karya ilmiahnya ini juga harus berdasarkan pengamatan, data analisis yang relevan, dan sumber yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.

Menyusun laporan skripsi tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ada beberapa tahapan dan proses yang perlu dilewati, seperti penentuan apakah jenis skripsi yang ingin diambil kuantitatif, atau kualitatif, penentuan dan pengajuan judul skripsi, pencarian analisis sumber data, dan penyusunan bab satu sampai akhir.

Selanjutnya pengajuan proposal yang melalui berbagai proses persetujuan dari dosen pembimbing hingga sidang akhir dari penelitian yang telah dibuat oleh mahasiswa sebagai tahap akhir penentuan apakah layak lulus menjadi seorang sarjana atau tidak.

Dalam perjalanan mengerjakan skripsi, setiap mahasiswa mempunyai ceritanya masing-masing. Cerita umum yang paling sering terjadi sama mahasiswa ketika sedang mengerjakan skripsi adalah mendapatkan dosen pembimbing yang sulit untuk dihubungi, judul ditolak, file hilang, mendapat dosen pembimbing killer dan perfeksionis, dan sebagainya.

Rumitnya penyusunan skripsi, membuat tidak sedikit mahasiswa menyerah, dan memutuskan untuk menunda pengerjaan skripsi pada semester berikutnya. Banyak mahasiswa juga yang menumpahkan keluh kesah mereka di media sosial.

Tetapi ya sudahlah, hal tersebut menjadi maklum, persoalan semacam itu adalah bumbu-bumbu penyedap mahasiswa tingkat akhir.

Trend Euforia Perayaaan Pasca Sidang Skripsi

Yang menjadi menarik adalah sempat terdengar suara hati dari sebagian dosen mulai terdengar seiring naik daunnya “ritual” ini. Tren ini semakin menjalar ke semua Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di Indonesia. Mereka berharap para mahasiswa lain tidak ikut-ikutan dan menjadikan ini sebagai kegiatan yang wajib dilakukan.

Semakin banyak foto-foto yang diunggah ke media sosial, menggambarkan momen sesaat setelah sidang skripsi atau tesis. Seorang mahasiswa yang baru saja keluar ruang sidang langsung disambut oleh rekan-rekan pendukung setianya lalu mengabadikan momen bersama dengan selempang bertuliskan nama dan gelar baru sarjananya, lengkap dengan boneka, bunga-bunga, dan balon-balon berbentuk huruf yang menunjukkan gelar akademik yang (segera) disandangnya.

Bisnis selempang wisuda dan aksesoris perayaan lainnya lantas maju pesat bukan hanya pada masa akhir semester atau wisuda saja, namun bisa kapan saja saat jadwal sidang tiba. Alhamdulillah laris.

Dewasa ini, orang-orang gemar berbagi euforia apapun di sosial media, termasuk euforia ketika lulus dalam sidang skripsi atau tesis. Terkesan biasa saja dan sederhana, tapi ada bagian dari tren ini yang terlihat seperti “mendahului kodrat” dan “pamer gelar akademis” di media sosial. Ya, gelar yang belum secara resmi disandang sang mahasiswa sebelum wisuda. Mereka yang melakukannya pun seolah tidak tahu bahwa gelar yang ditunjukkannya belum sah sebelum adanya pelantikan di sidang Yudisium.

Sebagian mahasiswa menyadari bahwa hal yang dilakukan ini memang tidak benar, ada juga yang melakukan ini sekadar untuk senang-senang saja dan cuma ikut-ikutan teman yang lain ketika ditanya langsung oleh dosen.

Namun, bagi penulis ini tidak masalah dan lumrah dilakukan sebagai bentuk ekspresi keberhasilan setelah kerja kelas yang dilalui selama kuliah. Selama tidak berlebihan, boleh-boleh saja. Yang terpenting, tren atau fenomena ini jangan sampai menjadi sindrom psikologi, dimana pendidikan kehilangan esensinya saat gelar akademis justru dijadikan penghias status sosial saja.

Bagi penulis, yang menjadi catatan penting adalah mahasiswa yang baru saja selesai ataupun dinyatakan lulus sidang skripsi/tesis pun masih harus menyelesaikan beberapa hal, diantaranya bimbingan lanjutan bersama dosen pembimbing untuk proses revisi skripsi, menyelesaikan administrasi kampus, urusan perpustakaan & berkas-berkas lain, dan sebagainya. Kemungkinan hal ini masih bisa terjadi dibalik euforia kelulusan seorang mahasiswa yang belum resmi diwisuda.

Wajar saja jika kita merayakan sebuah kelulusan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan YME karena bisa menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi. Namun sebagai mahasiswa seharusnya berfikir jernih dan sadar bahwa etika sebagai civitas akademik juga harus dijunjung tinggi.

Rayakanlah sebuah kelulusan dengan wajar, tidak berlebihan, dan sesuai pada tempat dan waktunya. Silahkan berfoto, mengadakan syukuran atau pesta besar di luar sana, namun pastikan catatan penting dari penguji pada saat ujian sidang segera dikerjakan dan dilaksanakan. Mengingat pelaksanaan Wisuda X Tahun 2021 sudah didepan mata. Ada pendapat lain?

#Semua akan wisuda pada waktunya….

“Pendadaran bukan pintu terakhir, pendadaran adalah titik awal dibukanya pintu kemajuan yang lain”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top