Istri Penggerak Ekonomi, Mengapa Tidak?

Bagikan sekarang

@ rijal mumazziq z

Sebelum jualan baju daring sejak 2019, istri saya minta izin. Apa boleh? Silahkan. Tapi labanya masuk ke kantong pribadiku, apa boleh? Lha monggo. Jatah belanja, baju dan kosmetik tetap ditanggung ayah ya? Lha mbok iyo, yang penting kamu senang dan menikmati aktivitas jualan. Benarlah, fulus suami adalah juga milik istri. Dan uang istri adalah milik dirinya. Ingat ya SUAMI alias Semua Uang Adalah Milik Istri. Hahahaha.

Alhamdulillah jualannya lancar. Omzetnya naik. Labanya meningkat. Saya hanya pesen tiga hal. Pertama, sibuk promo dan melayani pembeli silahkan, asal jangan lupakan kewajiban sebagai istri dan ibu. Kedua, sisihkan keuntungan, baik sedekah maupun zakat. Ketiga, dengan (latihan) cari uang sendiri, setidaknya bisa lebih siap andaikata suami wafat duluan. Dia bisa mandiri secara finansial. Mentalnya juga lebih siap menghadapi badai sepeninggal garwa-nya.

Perkara terakhir ini penting. Banyak istri yang saat ada suami hidupnya berkecukupan, dimanja secara finansial, tapi kelabakan saat suami sebagai sumber ekonominya wafat. Sebagian ambruk secara mental, tapi sebagian besar lagi bisa menjadi single parent yang tangguh. Belajar berdagang, daring maupun luring, atau bekerja di instansi negeri maupun swasta. Kerjakeras untuk kehidupan keluarga dan pendidikan anak-anaknya. Untuk para janda sekaligus ibu yang tangguh seperti ini saya selalu angkat peci. Salut atas kegigihan dan perjuangannya.

Karena itu ketika ada beberapa pemuka agama melarang secara mutlak perempuan bekerja, saya tidak setuju. Selain gebyah uyah, menggeneralisir tanpa paham konteks, juga meremehkan kiprah manusiawi perempuan sebagai sosok yang punya daya cipta, karsa, dan karya.

Ketika ada yang bilang ibu rumahtangga derajatnya lebih mulia dibanding wanita karier, nggak juga. Wanita karier dianggap menterlantarkan anak dan keluarga, nggak juga. Kawan-kawan saya, yang menjadi wanita karier degan ragam profesinya dan mapan di bidangnya, anak-anaknya juga tertata pendidikan dan akhlaknya, rumahtangganya juga stabil. Di sisi lain, banyak ibu rumahtangga yang memang tidak bekerja dengan beragam alasan, juga ruwet kehidupannya dan kocar-kacir pendidikan anak-anaknya. Walaupun tentu saja hal ini kasuistik. Tidak bisa digeneralisir. Ada banyak faktor penyebabnya.

Intinya, jika seorang perempuan, baik berstatus istri maupun single parent, diberi kesempatan untuk mengembangkan potensinya, disertai dengan tanggungjawab yang baik kepada keluarganya, niscaya dia bisa mengembangkan kekuatannya berkali-kali lipat dibandingkan pria.

Ada sebuah guyonan, jika perempuan itu makhluk lemah, lantas mengapa obat kuat hanya untuk pria? Hahaha. Perempuan itu makhluk yang sanggup menahan beban berkali lipat. Jika suami ditinggal wafat istri, biasanya akan mengalami beban psikologis dan biologis. Ada semacam degradasi alur kehidupan yang dia alami. Silahkan dicek, bertapa banyak tokoh besar yang semakin rapuh dan kariernya runtuh sepeninggal istrinya. Sebaliknya, ketika istri ditinggal wafat suami, dia cenderung bisa menahan diri untuk tidak menikah lagi, dan kekuatannya justru berlipat-lipat. Semacam bertiwikrama dalam legenda pewayangan. Kekuatan yang meningkat berkali kali lipat karena terdesak.

Anda bisa setuju atau tidak dengan pendapat saya di atas. Tapi, ketika melihat para yatim yang kemudian menjadi kampiun di bidangnya; Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam al-Bukhari, Syekh Abdul Qadir al-Jailani, KH. Abdurrahman Wahid, Prof. BJ. Habibie, dua bersaudara Habib Ali Masyhur dan Habib Umar bin Hafidz, kita bisa melihat kiprah para perempuan berhati baja bertangan dingin mendidik dan melejitkan potensi buah hatinya tanpa didampingi suaminya.

Di dalam komunitas pesantren, beberapa ibunyai bahkan menjadi garda terdepan kemandirian ekonomi keluarga. Selain mendampingi suami mengasuh para santri, beliau-beliau memiliki manajemen keuangan dan keterampilan mengolah hasil pertanian dan perkebunan untuk pembangunan pondok. Di Lirboyo, Bu Nyai Dlomroh meminta Mbahyai Abdul Karim, pendiri pesantren besar ini, agar fokus mengajar dan riyadloh untuk santri. Bunyai-lah yang menjadi penggerak ekonomi keluarga. Manajer keuangan yang taktis dan terampil.

Di sisi lain, ada Nyai Sholihah Wahid Hasyim. Beliau ditinggal wafat suami dalam usia belum genap 30 tahun. Oleh KH. Bisri Syansuri, ayahnya, diminta kembali ke Jombang. Tapi Nyai Sholihah menolak dengan halus. Karena tekadnya membesarkan 6 buah hatinya di Jakarta hingga mencapai kesuksesan. Kelak, pahit di usia muda menjadi manis madu di usia senja. Enam anak Kiai Wahid Hasyim menjadi orang sukses di bidang masing-masing.

Di forum Webinar Kewirausahaan yang digelar Kemenpora RI bekerjasama dengan INAIFAS Kencong Jember, Senin 6 September 2021, dua orang narasumbernya perempuan. Masih muda, belum genap usia 40 tahun, tapi keduanya menjadi inspirasi para perempuan berkarya di bidang penguatan ekonomi.

Salah satunya, Ning Nisaul Kamilah, sahabat saya. Selain menjadi pengasuh pesantren di Pasuruan, dia menjadi novelis, motivator-sociopreneur, dan menggerakkan para perempuan agar mandiri secara ekonomi melalui jejaring Halaqoh Bisnis Online (HBO). Jejaring ini menghimpun ribuan kaum hawa, baik yang masih jomblo maupun sudah menikah, dalam peningkatan kualitas bisnis. Tak hanya peningkatan omzet, Ning Mila juga memberikan tips tazkiyatun nafs, dan wirid pelancar rezeki barakah dari para ulama.

Banyak di antara anggota HBO yang berhasil menempa mentalitasnya, dari yang awalnya minder, kini percaya diri. Dari yang mulanya miskin, kini berkecukupan. Dari yang awalnya hanya mendapat uang belanja dari suami, kini bisa membantu belahan jiwanya mengembangkan usaha. Yang pada asalnya terjebak menjadi pencari kerja, kini sudah menciptakan lapangan pekerjaan.

Saya senang melihat kreativitas yang dijalani ibu-ibu muda ini, yang digerakkan bunyai muda. Menghimpun diri walaupun belum pernah berjumpa, berjejaring secara rapi, bertukar ide, dan saling menopang untuk kemajuan diri. Pola demikian ini akan menjadi pilar ekonomi yang kadangkala tidak terlihat, namun cukup berpengaruh.

**

Keseksian perempuan bukan di tubuhnya, melainkan pada otaknya, dalam jalan pikirannya. Saya selalu suka melihat perempuan cerdas dan mandiri. Lembut tapi tegas. Luwes berkarakter. Bisa menyesuaikan diri dalam mendampingi suami, demikian pula sebaliknya. Suami yang bisa memahami potensi istrinya dan tidak merasa tersaingi dengan keberadaan belahan jiwanya. Saling mendukung dan menyempurnakan kekurangan.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top